Merayakan hubungan Indonesia-Australia, pianis Ananda Sukarlan menggubah catatan bersama Soprano muda Mariska Setiawan dan Melbourne Symphony Orchestra.
Bunyi gemuruh dari tekanan tangan pada tuts piano serentak menjadi bunyi pertama dari komposisi karya Betty Beath bertajuk Bali Yearning (Merindu Bali).
Gemuruh yang disusul dengan nada pentatonik khas musik tradisi Bali. Inilah karya
komponis asal Brisbane, Queensland, kelahiran 1932 yang pernah tinggal di Bali bahkan sempat tinggal di Indonesia – malam itu dibawakan oleh Ananda Sukarlan.
Karya yang merupakan wujud dukacita untuk bangsa Indonesia dan dunia ini pernah diungkapkan Betty kepada Ananda. Sangat menyedihkan sesekali gemuruh dan menghentak berseling imaji antara harmoni, tenang dan lengang.
“Nomor ini adalah monumen peringatan pada Bom Bali. Meski sudah ada monumen fisik di Bali. Ini adalah monumen dalam karya musik,” ujar Ananda menjelaskan sebelum memainkan pianonya, Kamis (4/7/2024).
Pertunjukan di JS Bach Recital Hall, Jakarta, yang juga menampilkan kuartet gesek Melbourne Symphony Orchestra (MSO) ini, menjadi bagian yang menandai 75 tahun hubungan diplomatik Australia dan Indonesia. Australia. Mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949.
Selain Ananda dan MSO, perayaan hubungan kedua negara juga melibatkan seniman Indonesia yaitu soprano muda Mariska Setiawan.
Ada juga karya Peter Sculthorpe yang menulis karya sederhana sekaligus hening dan memiliki makna yang mendalam pada judul “Little Passacaglia”.
Karya lain Ananda adalah mempersatukan musik Australia dan Indonesia yang ditampilkan malam itu adalah I Wish Matilda Had Waltzed to Minang untuk piano solo. Karya yang diciptakan tahun 2017 dan merangkai dua melodi asal Australia dan Minangkabau yaitu Waltzing Matilda dan Kampuang Nan Jauh di Mato yang dimaknai secara imaji tentang si Mathilda yang rindu pada sosok kekasih orang Minang.
Ananda juga menciptakan karya Two Australian Songs diperdanakan oleh Mariska dan MSO dalam lantunan soprano dan string quartet dipetik dari puisi dua penyair legendari Australia yaitu Henry Lawson yang berjudul On The Night Train dan Judith Wright yang berjudul Woman and Child.
Ananda yang di tahun 2000 pernah disebut oleh Sydney Morning Herald sebagai “one of the world’s leading pianists at the forefron of championinh new piano music” ini dikenal sebagai komponis Indonesia produktif mencipta tembang puitik dari puisi yang sudah ada.
Sekitar 400 karya yang disajikan untuk vokalis dan diiringi pianis, telah dia cipta baik dalam batas Indonesia, Inggris mau pun Spanyol.
Dialog Genre
Di Aula Simfonia Jakarta ini, dengan penyelenggara Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Ananda memunculkan karya para penyair termasuk Joko Pinurbo (“Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya”), Okky Madasari (“Kado Natal untuk Jokpin”), Mustari Irawan (“Ibu Selalu Terdiam”), Julia Utami (“Bapak”) dan keterlibatan penyair Emi Suy.
Ananda tak hanya melakukan musikalisasi puisi namun juga mengambil esensi sekaligus menerjemahkannya dalam untaian nada. Tafsir alih wahana dari genre yang berbeda ini dapat memberikan banyak kemungkinan tak hanya dalam bunyi namun juga diksi sekaligus makna yang ditangkap oleh Ananda di “pekarangan nada” yang dia gubah.
Noted of Friendship memperlihatkan bagaimana hubungan kedua negara sekaligus bagaimana luwesnya pergaulan seorang Ananda, Mariska dan Melbourne Symphony.
Keterbukaan Ananda Sukarlan dengan tiap seniman di genre lain, termasuk keperduliannya pada isu lain dari sosial, politik hingga kemanusiaan terasa di konser ini.
Karya Ananda yaitu pada “Annanolli’s Sky” untuk piano quintet, piano dan kuartet gesek adalah bukti. Karya ini ditulis Ananda seusai permintaan Arnuero Internasional Chamber Music Competition di Spanyol pada 2017. Komponis Indonesia ini terinspirasi dari karya visual artis Finlandia, Tero Annanolli yang juga pernah berpameran di Indonesia.
Kekhasan seorang Ananda Sukarlan ini memang sudah lama dia lakukan sebenarnya. Kejenakaan seorang Ananda Sukarlan itu yang terlhat, misalnya, saat Ananda membawakan lagu dari puisi Joko Pinurbo.
Tuhan, ponsel saya/rusak dibanting gempa./Nomor-nomor kontak saya hilang semua./Satu-satunya yang tersisa/ialah nomorMu.//Tuhan berkata:/Dan itulah satu-satunya nomor/yang tak pernah kausapa.// (dari buku kumpulan puisi “Perjamuan Khong Guan”, 2020).
Komunikasi berhasil terbangun di peng-alihwahana-an puisi ini. Antara kejenakaan puisi karya mendiang penyair Joko Pinurbo (Jokpin), gestur tubuh Mariska plus lantunan sopranonya – dengan desain busana karya Peggy Hartanto, denting nada yang dimainkan Ananda.
Nada itu mengingatkan pada bunyi khas merk handphone jadul masa lalu. Tepuk tangan penonton pun spontan terdengar. Jenaka yang dalam, kelucuan yang filosofis. Bahwa hubungan pada Tuhan selalu abadi namun tetap saja manusia kerap terlupa.
Jenaka. Sekaligus satir dan ironi. Jokpin telah mengemasnya bukan dengan nasihat tapi ironi yang mendalam di puisi itu. Ananda, tampaknya, berhasil pula menerjemahkannya dalam gelanggang lain yaitu bunyi dan nada.@