Oleh: Bagus Pramudya *)
Di tengah gempuran modernisasi, generasi penerus di Karadenan tetap mempertahankan tradisi leluhur mereka.
Karadenan merupakan wilayah Kelurahan di Cibinong, Kabupaten Bogor. Mungkin sedikit orang yang tahu bahwa wilayah ini dulunya adalah sebuah Kerajaan. Diyakini dulunya ada kerajaan kecil bernama Muara Beres. Namun, perkembangan jaman dan masifnya pembangunan di wilayah ini membuat Karadenan menjadi wilayah komersil, dan padat pemukiman.
Kelurahan Karadenan dulu disebut Kawung Pandak, yang merupakan pusat dari Kerajaan Muara Beres. Kerajaan ini dibawah naungan Kerajaan Padjadjaran. Tapi sayang, bukti-bukti otentik tentang kerajaan ini sulit ditemukan. Kisah-kisahnya hanya dituturkan dari mulut ke mulut.
Cerita Raden Dadang, salah satu tokoh masyarakat setempat dan juga budayawan, Kerajaan Muara Beres dulu dipimpin oleh Pangeran Surawisesa atau Pangeran Sanghyang, yang merupakan anak dari raja Sunda Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dengan Kentrik Manik Mayang Sunda. Luas Kerajaan Muara Beres dulu membentang mulai dari Cibinong hingga perbatasan Depok dan Jakarta, lanjut keturunan Surawesi ini.
Tapi sayang seribu sayang, saat ini tak ada bukti-bukti arterfak yang bisa dijadikan rujukan kuat bahwa Kerajaan Muara Beres pernah berdiri di Kelurahan Karadenan. Sedikit bukti fisik yang menyatakan adanya Kerajaan Muara Beres di Karadenan adalah Masjid Al Atiqiyah terletak di dalam gang kecil di Jalan Kaum I. Meski terletak di gang sempit masjid ini memiliki sejarah panjang.
Dulu masjid ini hanya disebut masjid kaum. Masjid berbentuk segi empat dengan kubah berbentuk stupa susun tiga dengan 4 soko goro. Tetapi bentuk masjid ini sekarang sudah berubah total. Masjid ini diyakini merupakan masjid tertua di wilayah Bogor. Sayangnya, satu bukti yang menyatakan bahwa masjid ini merupakan masjid kuno hilang setelah pemugaran besar tahun 1962.
Sebelum pemugaran di salah satu soko guru masjid ini tertulis aksara Sunda. Angka yang tertulis dalam aksara Sunda itu diartikan angka tahun 1667. Menurut Raden Dadang, dengan dasar itu Masjid Al Atiqiyah merupakan masjid tertua di Bogor. Selama ini gelar masjid tertua di kota hujan disematkan pada Masjid Al Mustofa yang dibangun sekitar tahun 1728 di Banten. Hanya saja, bukti bahwa Masjid Al Atiqiyah benar dibangun tahun 1662 M sudah tak ada.
Di belakang masjid terdapat 3 makam istimewa, yakni makam Raden Syafei, sang pendiri masjid, makam Ratu Enok yang merupakan istri dari Raden Syafei, dan makam Hamzah tokoh masyarakat atau sesepuh warga yang diyakini hidup di jaman Raden Syafei. Berdasar penelitian yang pernah dilakukan oleh beberapa universitas, nisan makam Ratu Enok mirip batu nisan abad 16-17. Ini semakin menguatkan bahwa masjid dibangun di abad yang sama.
Lain dari itu, di dalam bangunan masjid terdapat ruangan berupa museum yang menyimpan berbagai benda pusaka peninggalan kerajaan. Seperti tombak, kujang, keris dan lain sebagainya. Benda-benda pusaka tersebut merupakan warisan nenek moyang yang terus dirawat oleh generasi saat ini. Menurut Raden Dadang, itu keharusan yang harus terus dijaga.
Kini, di tengah germpuran modernisasi yang semakin berkembang, generasi penerus yang tinggal di Karadenan tetap mempertahankan tradisi leluhur mereka. Salah duanya ialah adanya acara Mauludan dan tolak bala di bulan Sapar yang selalu diadakan tiap tahun. Ini merupakan upaya menjaga adat tradisi untuk mengingatkan generasi mendatang bahwa di wilayah Karadenan dulu pernah ada kerajaan Islam yang turut mewarnai sejarah bangsa ini.@
*) Penulis adalah pengamat seni dan budaya.