Masuk-tak masuk sebagai warisan budaya dunia di Unesco, warisan kearifan lokal nenek moyang ini tetap harus dilestarikan karena berguna bagi generasi mendatang.
Jakarta – Ulos dan tortor adalah dua perangkat kearifan budaya tradisi Batak yang sudah diakui nasional dan sedang dalam proses pengajuan ke UNESCO untuk mendapatkan pengakuan warisan budaya dunia.
Untuk mendukung status warisan budaya dunia perlu kerjasama antar pihak termasuk individu dan masyarakat pemerhati tradisi Batak untuk mendorongnya.
Pakar lingkungan yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Asia Pasific Center for Ecohydrology (APCE) UNESCO C2C Prof. Ignasius Sutapa kemudian mengatakan bahwa usulan itu akan berlangsung panjang sehingga kelar dan diakui sebagai warisan dunia.
Penetapan warisan dimulai dari proses d sebuah komunitas kebudayaan, diajukan ke pemerintah daerah (Pemda). Pemda bersama tim ahli warisan budaya tak benda (WBTB) mengajukannya lagi ke Pemerintah Pusat atau negara, barulah dapat diproses di UNESCO.
Dia menerangkan lebih detil prosesnya.
“Itu pun harus berlanjut dengan rangkaian dari penyeleksian, penelitian dan diskusi, pengusulan naskah dan dokumen,
verifikasi, finalisasi naskah. Barulah pengiriman naskah ke Sekretariat UNESCO. UNESCOlah yang akan melakukan evaluasi dan pengkajian hingga menjadi penilaian,” ujar Sutapa yang juga
peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam diskusi bertema “Preserving Batak Heritage” yang digelar di Aula Gereja Huria Kristen Batak Protestan {HKBP) di Jakarta, Selasa (4/2/2025).
“Jadi pengajuannya adalah dari pemerintah pusat ke level dunia itu lewat Kementerian (kini Kementerian Kebudayaan,red). Ada tahapan proses pengajuan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) ke UNESCO,” paparnya.
Dua obyek tradisi yaitu tortor dan ulos sudah ada di dalam proses nasional menuju ke proses di UNESCO. Jadi, untuk obyek lain seperti Aksara Batak, tentunya harus melakukan proses awal dari komunitas hingga ditetapkan sebagai WBTB di tingkat provinsi, kota/kabupaten hingga di tingkat nasional.
Pada mulanya, jelasnya, UNESCO mengizinkan stiap negara setiap tahunnya mengajukan usulan warisan kebudayaan tanpa batas pertahunnya. Kemudian UNESCO putuskan setiap dua tahun sekali diajukan oleh sebuah negara. Kecuali bila diajukan secara multinasional atau misalnya tiga negara, pengajuan ini dapat dilakukan di tiap tahunnya.
Bukan Tujuan
Di hadapan para pemerhati budaya Batak antara lain Jacky Simatupang, Sermida Silaban, Saut Poltak Tambunan, Rustani Simanjuntak, Sutapa
kemudian menyarankan agar komunitas pemerhati budaya Batak harus kompak untuk mengajukan sebuah obyek budaya tradisi dan merangkul dan berkomunikasi semua pihak.
Sehingga ketika usulan itu diajukan, tak ada pihak yang ditinggalkan atau bahkan keberatan dengan obyek kebudayaan tersebut.
Lagi pula, menjadikan tortor dan ulos sebagai warisan dunia adalah bukan tujuan. Karena kalau hal itu menjadi tujuan, maka selesailah sudah sebuah warisan, bila tercapai keinginan itu.
Padahal, bertahannya nilai keluhuran dan kekuatan tradisi di masa lalu menjadi masa kini berarti karena nilai itu juga berguna di masa depan.
“Warisan budaya tradisi adalah investasi budaya lokal seperti Candi Borobudur yang hingga kini mendatangkan pariwisata. Mendukung ekonomi rakyat seperti UMKM dari kuliner. Membangun modal sosial. Pelestarian tradisi itu ada nilainya,” ujarnya.
Warisan budaya itu tak hanya konsumsi kebudayaan yang nampak sama tapi juga lapangan kerja dan pendapatan.
“Inilah sejarah, wisdom atau kebijakan karya luar biasa dari Indonesia bahkan melampaui batas nasional dan memiliki arti penting buat kehidupan generasi mendatang dan seluruh umat manusia,” ujarnya.
Jadi, kalau hanya sebagai tujuan kemudian obyek itu tak dipelihara atau tak memiliki aspek yang kuat, terpelihara dan lestari, pastilah obyek tradisi itu akan hilang di masa depan.
“UNESCO dapat meninjau ulang bahkan membatalkannya. Jadi bukan fokus ke UNESCO-nya. Kembalilah pada manfaat dan keadiluhungan budaya tradisi tersebut. Tiap komunitas, masyarakat, stakeholder atau pemerintah, harus menjaga kelestariannya,” ujarnya.
Hampir di semua negara yang mendapatkan kehormatan ada warisan budaya di dunia kemudian menjaga dan melestarikannya. UNESCO tak memberikan hadia dalam bentuk ril dan materil, namun inilah penyematan bergengsi dan puncak sehingga penghargaan sebagai warisan budaya dunia kemudian menjadi magnet untuk pariwisata, kuliner, perhotelan, transportasi dan banyak lagi keuntungan ekonomis lainnya. Meski hal itu bukan yang paling utama dalam pengajuan sebuah heritage dan kearifan budaya tradisi.
“Yang penting untuk syarat dan ketentuan warisan budaya dunia adalah bila di perangkat atau obyek kebudayaan itu terkandung nilai universal luar biasa melampaui batas nasional dan memiliki arti penting bagi umat manusia, generasi sekarang dan mendatang,” pungkas Sutapa.@