Batu-batu karang gunung yang teksturnya berlekuk dan berlubang itu tetap tak tergerus zaman.
Batu gunung adalah batu keras ketimbang batu karang laut. Disusun secara unik, seolah dengan semen – entah menggunakan bahan adukan apa – batu-batu nampak kuat melekat dengan batu lainnya. Membentuk candi, membentuk bangunan lubang gua, gundukan taman. Sementara di tengah banyak candi, terlihat parit air yang mengelilinginya.
Arsitektur brilyan berupa tempat pertapaan, tempat istirah, parit dan candi ini hampir sama ditemui dengan keberadaan di beberapa wilayah lain di Nusantara. Areal ini mendapatkan air dari sumber air alami yang tentunya saat difungsikan, memerlukan diperlukan perhitungan teknis canggih oleh nenek moyang bangsa ini. Candi yang menyediakan saluran air didapat dari sungai atau danau di sekeliling. Di Cirebon ini, Gua Sunyaragi pada masa silam mendapatkan air dari Danau Jati yang mengelilinginya.
Danau kini sudah mongering oleh pembangunan berbagai wilayah. Kering oleh waktu, oleh tujuan manusia beratus tahun kemudian. Ada jalan panjang Brigjen Dharsono, pemukiman penduduk, Sungai Situngkul, Pembangunan Listrik Tenaga Gas. Gua Sunyaragi seluas 15 hektare dan merupakan cagar budaya Cirebon ini adalah bagian dari Keraton Pakungwati.
Tujuan utama gua yang sebagai tempat peristirahatan dan meditasi para Sultan Cirebon dan keluarganya ini begitu luas. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa gua ini merupakan areal gemblengan bagi para prajurit kesultanan Cirebon.
(Baca juga: Tapak Paderi, Keindahan Garis Pantai Bengkulu)
Sunyaragi dipetik dari kata Sansekerta yang berasal dari kata “sunya” yang artinya kesunyian dan “ragi” yang artinya raga. Kesunyian raga identik dengan meditasi, tapa atau peristirahatan yang sakral pada masa itu. Di antara bangunan yang berbeda tinggi dan lebarnya itu, bangunan ini hanya sedikit yang tersusun dari kumpulan semacam batu bata. Sisanya adalah batu-batu gunung. Ada candi yang rusak digempur pada masa silam. Candi berbahan batu bata. “Beberapa bagian pernah rusak karena gempuran dari kolonial Belanda,” ujar Dedi Kampleng, seniman dan juga pemerhati budaya tradisi Cirebon.
Selain Kang Dedi Kampleng, demikian sapaannya, kedatangan anjangsana.id juga bersama seniman Madin Tyasawan. Kami bertiga menyusuri bagian rusak yang dimaksud, Selasa siang (25/8 ). Selempeng tembok besar dan tebal tergolek di atas tanah, di samping bangunan candi. Bangunan ini pernah dijadikan sebagai benteng pertahanan di masa perang. Tembok rubuh itu tampaknya tak tergeser kecuali oleh alat berat.
Kerusakan terjadi pada tahun 1797. Ada tiga atau empat lempengan, seakan menayangkan kembali efek peledakan yang menghancurkan sisi bangunan ini. Pada tahun 1852, gua diperbaiki. Di kemudian hari, bangunan kembali direstorasi pada masa kemerdekaan sekaligus kedaulatan Republik Indonesia tepatnya pada tahun 1976 hingga 1984.
Sejarah dan Kepercayaan
Menurut cerita yang beredar di masyarakat, ada beberapa pantangan yang patut dipatuhi untuk masuk ke areal ini. Salah satu keyakinan itu adalah, pengunjung perempuan yang belum mendapatkan jodoh diharapkan jangan memegang patung Gadis Perawan Sunthi. Namun bila terlanjur memegang, sebaiknya segera mendatangi Gua Kelanggengan, agar dapat menangkal sekaligus kembali langgeng mendapatkan jodohnya.
Wisatawan lokal tetap nampak di tengah kondisi pandemi Corona saat ini. dengan protokoler yang ada, masih nampak terlihat, beberapa pengunjung di areal cagar budaya, siang itu. Sekeluarga bapak, ibu dan dua anak tampak menyusur jembatan melintas parit. Dua perempuan muda berteduh di bawah bangunan pendopo besar. Sepasang lelaki-perempuan asyik berfoto di antara candi.
Rapih dan indahnya susunan batu-batu gunung yang dalam sejarah tercatat didirikan oleh Pangeran Emas Zaenul Arifin atau Panembahan Ratu Pertama awal abad ke-18 itu sangat terlihat. Di tengah kawasan karst, batu-batu gua yang keras dan bertekstur rumit, merupakan karya arsitektur yang rumit. Dengan kekuatan bangunan yang usianya berabad ini, hampir semua pengunjung mendatangi tiap lekuk dan celah wilayah itu.
Parit yang panjang membentang dan membagi banyak candi di sekelilingnya, semakin menampakkan keindahan bangunan yang dibuat sejak masa silam itu. Ada berbagai bentuk penghias taman dari mulai sosok Patung Gajah. Patung Wanita Perawan Sunti juga Patung Garuda. Jalan berkelok untuk candi yang tinggi letaknya, jalan labirin untuk masuk ke beberapa ruang meditasi dan jembatan yang diperbarui untuk melintasi parit, adalah keriangan sekaligus usaha bagi para pengunjung tiap menjelajahi areal. Bentangan wisata yang luas dengan berbagai pernik kelok berbahan batu alam ini semakin memerlihatkan kejayaan dan kehebatan bangunan yang didirikan oleh nenek moyang kita, kerajaan-kerajaan berdaulat pada masa silam.@