Sekelompok seniman visual se-Jabodetabek, terhimpun dalam Jejaring Budaya Bosen 2020 merefleksikan, antara daya tahan hidup dan daya tahan kreatif menghadapi masa pandemi di ajang Parade Pameran Tunggal 51 Perupa.
Oleh: Vukar Lodak
Tanpa terasa wabah sudah menginjakkan tahunnya yang ke dua. Masa yang tentu saja tidak singkat. Selama itu, alang-kepalang pula kematian dan kesengsaraan yang ditimbulkannya. Paling tidak sekian persen dari populasi manusia di dunia menurundrastis. Jutaan anak-anak mengalami penderitaan, menjadi yatim dan piatu. Konjungsi pertumbuhkan ekonomi pun menukik grafik jungkir-balik.
Wabah memang tak segan meluluh-lantakkan hampir semua sektor kehidupan kita. Seluruh sendi. Sejak dari ekonomi, politik, sosial, hingga kebudayaan, bahkan tak terkecuali kehidupan terkecil para pekerja kreatif sekalipun.
Keniscayaan kita yang kodratnya sebagai zoon politikon (mahluk sosial) itu tiba-tiba direnggut, kita kemudian dipaksa berkelok menjadi individu yang soliter. Dibungkam, dipaksa menutup diri dan mau tak mau berhibernasi.
Secara tersirat, virus mematikan itu memungkinkan kita melangkah ke ‘dalam’. Menapak jalan oto-kritik. Dan menggugat kembali substansi kita, sebegitu rapuhkah otoritas manusia?
Sekelompok seniman visual se-Jabodetabek, yang terhimpun dalam Jejaring Budaya Bosen 2020 mencoba merefleksikan, meneguhkan dan mengekspresikan akan pertarungan ketangguhan mereka, antara daya tahan hidup dan daya tahan kreatif selama menghadapi masa pandemiitu melalui ajang Parade Pameran Tunggal 51 Perupa.
Pameran yang terbilang cukup unik dan langkah ini, menurut perupa William Robert, sebagai penggagas pameran, spiritnya adalah untuk menunjukkan ‘ketangguhan’, agar tetap bertahan dan tetap berkarya. Dan secara keseluruhan ada ratusan karya yang dipamerkan, meliputi; lukisan, sketsa, drawing, keramik, seni instalasi, patung, dan digital video art. Di samping dapat dilihat di masing-masing studio, pameran ini juga dapat diapresiasi secara online.
Menurut perupa yang banyak melakukan kunjungan ke berbagai kantong kesenian ini, pameran ini termasuk berbeda dengan open studio. Setiap orang menggarap pamerannya masing-masing dengan berbagai pendekatan media. Selain menegaskan kepada publik akan eksistensi para perupa dalam keadaan apapun, pameran ini juga disepakati sebagai bagian dari berbagai langkah untuk terus aktif menghidupkan ekosistem berkesenian di Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok dan sekitarnya.
Parade Pameran Tunggal 51 perupa ini pun diresmikan oleh Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan. Selama dua bulan pameran ini berlangsung, menghadirkan berbagai agenda yang menunjang apresiasi publik, seperti workshop, artis talk, webinar, performance dll.
Mereka yang berpameran di antaranya; Afriani, Ade Pasker, Agus Widodo, Adikara, Amanda Desty, Ary Okta, Adi Suryo, AR Soedarto, Aidil Usman, Duki Noermala, Damianus Sunu Wibowo, Dani Sugara, Dedy Suherdi, Dwi Samuji, Dwi Putro, Edy Kuken, Eksa Agung Wijaya, Eko Banding, Firdaus Musthafa, Gogor Purwoko, Guntur Wibowo M. Sn, Hafid Alibasyah, Hartadi, Indra Gunadharma, Izal Batubara, Jange Rae, Krishnaeta, Kana Fuddy Prakoso, Karya Indah, Lenny Ratnasari Weichert, Maria Tiwi, Nawa Tunggal, Oky Arfie, Oceu Apristawijaya, Ponk-Q Hary Purnomo, Rayrachmah, Revoluta S, Rohadi Cumik, RW Mulyadi, RB Ali, Ridwan Manantik, Setiyoko Hadi, Sari Koeswoyo, Syis Paindow, Soni Satria, Sri Hardana, Tommy Faisal Alim, Vy Patiah, Ve Dhanito, William Robert, Yayat Lesmana.
Setiap perupa mengusung tajuk pamerannya sendiri-sendiri. Seperti misalnya Eko Banding mengusung tajuk”Resital Garis”, Revoluta S mengusung tajuk “Bernyata-nyata” atau Karya Indah mengusung tajuk ” Time Bomb”. Afriani dengan “Ruang Tempa”nya, Juga Gogor Purwoko dengan “Seket”nya, Aidil Usman dengan “Homo Animus Series”, Ridwan Manantik dengan “Monumen”,RW Mulyadi dengan “ART on Paper”, Ve Dhanito dengan “Recalling”, VY Patiah dengan”Mimpi seperti Mimpi”, Setiyoko Hadi dengan “Nyanyian Ziarah”, atau William Robert sendiri dengan tajuk ”Melawati Hitam melalui Putih”. Demikian pula dengan para perupa yang lain.
Semisal karya Eko Banding, “Serenande Biru”, 90cmx300cm, akrilik di atas kanvas, yang dipajang di Artpora Studio, Jl. Kecubung 2 No. 11 Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur ini, karya yang dominan monochrom biru itu, syarat dengan garis-garis musikal yang ranum. Berkelebat dan menjorok memenuhi ruang dan bidang yang penuh dimensi ke depan dan ke belakang. Sesekali ia menyaputnya dengan tebasan garis-garis tegas, kemudian samar menyembulkan figur wajah dan jemari yang lunglai. Terkadang tampak sepertikeras dan patah-patah. Bak komponen mekanik, kaku dan bersegi-segi, laiknya karya-karya futurisme.
Secara tersirat Eko Banding seperti ingin berujar mengenai bagaimana keadaan kesadaran manusia dalam masyarakat industri(baca:urban) yang mekanis, kakuh dan terfragmentasi itu, terkoptasi dalam lompatan dan lipatan waktu.
Sedangkan pada karyanya yang lain, yangberjudul “Populer Stempel”, 180cmx280cm, akrilik di atas kanvas, perupa Eko Banding lebih banyak bermain dengan elemen-elemen geometris yang bentuknyamasih dapat dilacak. Seperti rupadeformatif kuda lumping, telapak tangan dan kaki. Untuk menegaskan bentuk-bentuk tersebut ia kadang mengimbuhkan beberapa kontur merah yang kuat. Menurutnya hasrat manusia untuk menjadi populer dan terkenal tak bedanya dengan sirkus kuda lumping.
Eko Banding menyodorkan dorongan ‘kemurnian’, membiarkan kehendak bawah-sadarnya mencari dan menemukan jalan kreatifnya sendiri, melalui kanal-kanalyang mungkin, seperti garis, warna, bentuk, ruang dan bidang. “Membebaskan diri dari logika dengan segala macam tumpukan pengetahuannya” paling tidak begitu tukas Eko Banding.
Lain lagi dengan perupa Revoluta S, perupa yang pernah menggarap lukisan abstrak on the spotberukuran sangat besar ini, mengunggah karyanya berjudul “Mencari Ruang Nafas”, 140cmx180cm, media campuran. Karya inikental mengabstraksi kolase batangan-batangan crayon. Batangan-batangancrayon itudilaburnya dengan warna emascopper, disusun rapat menyerupai kumparan bakteri atau virus. Di atas bidang yang dominan gelap itu ia sebarkan noktah-noktah kecil berwarna terang secara acak. Dari atas sampai ke bawah bidang kanvasnya menyeruak enam garis merah vertikal, menukik membentuk garis-garis menohok seperti idiom jeruji penjara. Karya Revo, panggilan akrabnya, turutpula dipajang di Artpora Studio ini.
Sebagaimana seni-seni non figuratif lazimnya, semisal abstrak yang diinisiasi Revoluta, sandungan sensasi atau kejutan tak terdugaseringkali datang dan sulit dihindari. Menuntun sang intuisi secara tak sadar menapak ke dalam kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga. Di mana segi-segi intrinsik karya bergerak tarik-menarik antara medan objek dan subyektivitas dirinya. Tarik menarik antara apa yang direncanakan dan dengan apa yang tak samasekali direncanakan. Jiwa kreatifnyaitu meluncur, seakan-akan bergulat dengan pesona dirinya yang unik, lalu menapuk di atas segala keajaiban karya yang ia sendiri tak kuasa mengatakannya.
Lain halnya lagi dengan karya Karya Indah, “Exodus New Normal”, yang juga dipajang di Artpora Studio ini, ia mengusung format instalasi. Ia menggantung setidaknya 51 molding sepatu di atas permukaan mozaik kaca cermin,dengan berbagai ornamen, sebagai representasi simbolis dari jumlah perupa yang serta dalam pameran tersebut. Di tengah lingkaran ia pacakkan sebuah tugu segi empat berlapis keramik dengan simbol hati dan red cross. Di puncak tugu ia tapiskan sebuah patung buste,satu kepala berwarna merah lengkap dengan penutup mulut berwarna hitam.
Menurutnya, karya ini, secara implisit ingin mengatakan tentang bagaimana sulitnya situasi masyarakat yang harus menjalankan habitus hidup new normal selama masa pandemi.
Parade Pameran Tunggal 51 Perupa ini terjadi memang baru pertamakali. Bahkan tak hanya di Indonesia, di dunia pun tampaknya baru pertamakali.
Pameran yang unik dan tak mudah ini, paling tidak memerlukan nafas dan sumbu konsentrasi yang panjang, mengingat pameranberlangsung cukup lama, tak kurangdari dua bulan. Salah satu hal yang tak mudahnya juga adalah menyulap setiap studio menjadi sebuah ruang pamer yang memadai, refresentatif. Kesulitan selanjutnya adalah menjaga ritme komunikasi antarseniman maupun publik selama berlangsungnya pameran. Dan satu lagi yang tak kalah sulit adalah bahwa pameran ini berlangsung di masa pandemi. Dan hebatnya lagi para perupa ini sanggup menerobos kemustahilan itu menjadi tak mustahil. Ajaib. Salut.@