Pameran di Perpusnas, Tujuh Perupa Angkat Tema Paradoks Kehidupan Kota

Oleh: Agus Firmansyah

Tujuh perupa tergabung dalam Kelompok Art Senafas, yang merupakan warga kota kota Jakarta menggelar pameran karya seni lukis mereka di Perpustakaan Nasional, 30 November hingga 10 Desember mendatang. Pameran yang dibuka pada Sabtu (3/11/2024) pukul 12.00 WIB ini menampilkan karya Achmad Syahri, Condro Jogo Karyo, Derson Madjiah, FirmanTas, Handoyo JJ, Nanek, Yudhi Petruk,
Dengan tajuk Paradoks, latar ini diambil dari kesan mereka sebagai kaum perkotaan perkotaan, sebagai hasil perenungan di tengah keramaian-pikuk kota.
Mereka semua tinggal di kota yang penuh dengan kemacetan menjadi santapan keseharian, suara desing motor di gang-gang kota termasuk suara bunyi iringan kendaraan yang menjadi keseharian dalam berkarya.
Sesekali terdengar suara ambulans beraroma kesakitan atau kematian, yang memberi kabar kelam, melihat berita televisi yang berhiliran mengabarkan berita korupsi, politik, pembunuhan, begal, tawuran yang tak asing lagi. Ditambah lagi melihat dunia digital yang kemajuannya masif dan pesat dan kini telah berada dalam genggaman keseharian kita.
Termasuk tawaran pinjaman – pinjaman online, judi online yang menjerat leher dirinya sendiri, sementara di media sosial semua orang berlomba memperkenalkan dirinya dengan segala macam cara, selebritis memamerkan hedonisme yang menggoda semua orang untuk mengikutinya. Semua orang berekspektasi pada dirinya di media sosial, yang nampaknya seperti bergincu untuk menyatakan dirinya sebagai apa dan siapa…
Hal diatas menjadi persoalan para perrupa untuk mengangkat Tema Paradoks ini.
Mereka menangkap gejala bahasa, simbolik, ambiguitas, dualisme, tanda – penanda, dan essensial, ungkapan – ungkapan karya ini tak diijinkan mengandung narasi maupun ilustrasi. Para perupa seperti menjelajahi dan memasuki lorong tunel untuk menemukan pembacaan terhadap persoalan kehidupan yang menjadi Paradoks.
Ruang surealis, ruang simbolik ruang ambiguitas, sampai ruang tanda-penanda ini, menurut Roland Barthes ada tiga pesan yang disampaikan : pesan verbal, pesan simbolik, pesan bahasa.
Pesan ketiga dari karya para perupa yang dihadirkan ini bermula dari subjektifitas, makna denotatif, dan pada nantinya di ruang pamer dapat dilihat oleh pengamat, penikmat, pengunjung. Sekaligus juga makna konotatif. Jika terjadi benturan pandangan di antara keduanya, maka itulah yang disebut Paradoks.
Paradoks seperti mengungkap kenyamanan seniman atau perupa yang telah berulangkali menggarap karya-karya yang bersifat naratif dan ilustratif,.
Tetapi ketika memasuki ruang paradoks dengan kedalamannya, ia seperti melakukan pembaruan dan pengenalan diri sendiri, sampai pada tahap eksekusi karya berdasarkan kegelisahan yang memberi perenungan atas Paradoks itu sendiri.

Read More

Berbagai Obyek

Paradoks mempunyai kedalaman makna, kedalaman ruang, yang menangkap gejala bahasa dan nilai esensial.
Itulah yang terjadi dari karya para perupa termasuk Handoyo JJ dengan judul karya “Paradoks#1” ukuran 180 x 150 cm media acrylic on kanvas 2024, yang mengetengahkan objek gurita yang melilit tugu monas dan burung garuda memakai blangkon memekik, seakan pemindahan Ibukota adalah problem.
Lalu seorang perupa bernama Nanek dengan karya paradoksnya berjudul “Celeng Halal “ ukuran 150 x 120 cm, media acrylic on canvas 2024, melukiskan celeng yang disimbolkan sebagai kekuasaan atau penguasa dan dalam tubuh celeng terlihat anak kambing berwarna hitam. Si perupa seakan ingin mengungkapkan bahwa dalam setiap kekuasaan, ketika terjadi kesalahan, akan mengkambinghitamkan siapapun dan dimana pun, lalu.
Perupa FirmanTAS dengan karya Wajah Paradoks #1 memberikan judul karyanya ” Mata Kosong “ ukuran 158 x 92 cm media oil on canvas 2024, memperlihatkan sosok yang di-close up seperti mengungkapkan, bahwa di zaman digitalisasi, masyarakat sudah terdeteksi sarafnya oleh perangkat digital hingga tombol on of sebagai simbol ketergantungan manusia yang tak bisa terlepaskan, dan Wajah Paradoks #2 judul karya “Garis Putih” (ukuran 158 x 92 cm media oil on canvas 2024) mengungkapkan, pertanyaan dan pernyataan dari sosok Ibu, tentang kemajuan zaman atas kecerdasan yang bisa mengubah dunia.
Namun manusia bersikap sombong dan angkuh dan tombol on off merupakan simbol metafor yang berada di lingkaran bulan, atas pertanyan apakah kecerdasan manusia dapat menghidupkan dan mematikan sinar bulan dan matahari? Sementara kecerdasan manusia juga berakhir di garis putih yang di simbolkan sebagai peti kematian.
Perupa Yudhi Petruk dengan karya 3 dimensi relief kayu dengan judul karya “Perupa dan karya” menjadikan Paradoks, karya berukuran 90 x 60 cm media oil on wood sebagai karya ambiguitas dengan objek maestro Leonardo Da Vinci yang memegang wajah Monalisa sebagai ungkapannya.
Perupa Derson Madjiah, dengan judul karya “Inspired Distorsi” berukuran 75 X 100 media oil on canvas 2024, karya yang diinspirasi dari maestro seni (Francis Baccon).
Karya rupa Derson beraroma magis dengan sapuan warna yang menghadirkan sosok objek wajah berkacamata yang seolah visualnya seperti bergerak ke kanan dan ke kiri. Karya dualisme yang memasuki arah esensial dalam mengemas karya Paradoksnya.
Lalu perupa Condro dengan objek realismenya menggambarkan keindonesian dengan pulau pulau berwarna emas dengan latar belakang kapal Majapahit yang tertanam di batu candi. Perupanya ingin mengatakan bahwa Indonesia yang gemah ripah loh jinawi yang bermula dari zaman raja raja namun hanya sebagai ungkapan saja.
Perupa Achmad Syahri dengan karya abstraknya berjudul “ Jejak Rindu “ ukuran 150 x 100 cm media oil on canvas 2024 seperti suatu kata yang mengimbangi hidupnya atas dunia lukis sebagai topangan hidup sebelumnya, dan harus menepi ke desa demi kelangsungan hidupnya yang harus terus dihidupi. (sihar ramses simatupang)

Related posts

Leave a Reply